Indikasi pertama mengenai adanya materi gelap diamati hampir 80 tahun lalu ketika astronom Swiss keturunan Bulgaria, Frits Zwicky, meneliti gerak galaksi-galaksi anggota Gugus Galaksi Coma.
Dengan menggunakan spektrograf, Zwicky mengukur kecepatan gerak tujuh
galaksi anggota gugus ini lalu—dengan menggunakan Hukum
Newton—menghitung massa total Gugus ini berdasarkan kecepatan gerak
mereka. Selanjutnya Zwicky mengukur seberapa terang galaksi-galaksi yang
sama lalu menghitung berapa massa total Gugus berdasarkan
kecerlangannya. Ternyata, “massa dinamika”, yaitu massa yang dihitung
dari gerak galaksi-galaksi tersebut, empat ratus kali lebih besar
daripada “massa cerlang” yang dihitung dari kecerlangan mereka.
Zwicky mengumumkan penemuan ini di hadapan rekan-rekannya dan menyimpulkan adanya “materi gelap” (istilah “materi gelap” atau dark matter diciptakan oleh Zwicky) yang tak bisa dideteksi instrumen namun bisa dirasakan pengaruh gravitasinya. Penemuan ini tak dipedulikan oleh rekan-rekannya karena pengukuran pada masa itu masih kurang teliti untuk bisa meneliti objek seredup Gugus Galaksi Coma, sehingga hasil-hasil Zwicky lebih dianggap sebagai efek kesalahan instrumen ketimbang sebuah gejala yang riil.
Tidak hanya ia pernah mengajak rekannya berkelahi namun juga ia sering menunjukkan kekuatan fisiknya dengan melakukan push-up
satu tangan di ruang dosen Caltech, membuat beberapa rekannya merasa
terancam dan tidak mau lagi bekerja sama dengannya. Namun demikian,
Zwicky adalah astronom yang brilian dan kreatif. Ia tidak takut salah
bila mencoba solusi yang dianggap tak wajar. Tidak hanya “materi gelap,”
istilah “supernova” juga adalah buah tangannya.
Selama setengah abad berikutnya ide mengenai materi gelap dilupakan,
sampai Vera Rubin—satu dari sedikit astronom perempuan pada masa
itu—meneliti gerak bintang dan gas di beberapa galaksi di sekitar
Galaksi Bima Sakti.
Dengan menggunakan spektrograf, Rubin mengamati
kecepatan gerak bintang-bintang di beberapa bagian dalam sebuah galaksi.
Menurut Hukum Newton, semakin jauh sebuah objek berlokasi dari sebuah
konsenstrasi massa, semakin lambat kecepatannya. Bumi, misalnya,
bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan rata-rata 30 km/s. Namun,
Jupiter, karena letaknya lima kali lebih jauh dari jarak Bumi-Matahari,
bergerak lebih lambat dengan kecepatan rata-rata 13 km/s. Hal yang sama
juga berlaku dalam sistem galaksi. Kita melihat bahwa daerah pusat
galaksi spiral lebih terang daripada daerah piringannya, dan semakin ke
pinggir kecerlangan sebuah galaksi semakin meredup.
Oleh karena itu
wajarlah bila kita menyimpulkan bahwa lebih banyak massa terkonsentrasi
di pusat galaksi daripada di pinggir, dan kita mengharapkan bahwa
kecepatan rotasi bintang-bintang di pinggir galaksi akan lebih lambat
daripada kecepatan rotasi bintang-bintang yang lebih ke pusat.
Akan tetapi kenyataan yang diamati Rubin sangatlah berbeda.
Bintang-bintang di pinggir galaksi bergerak sama cepatnya dengan
bintang-bintang yang lebih dekat ke pusat galaksi!
Apabila
bintang-bintang di pinggiran galaksi bergerak secepat ini, maka mereka
seharusnya tercerai-berai. Namun tidak ada indikasi yang menunjukkan ini
dan mereka tetap bergerak secara teratur, seolah-olah ada massa
tambahan yang “mengikat” mereka sehingga tetap stabil. Adanya “massa
tambahan” inilah yang kemudian dijelaskan sebagai adanya materi gelap.
Dengan mengukur kecepatan rotasi di beberapa tempat di sebuah
galaksi, Rubin dapat membuat sebuah grafik seperti di atas yang
memetakan kecepatan rotasi galaksi di beberapa tempat relatif terhadap
jaraknya dari pusat galaksi tersebut. Grafik seperti ini disebut kurva
rotasi. Bila kita menghitung kecepatan rotasi hanya berdasarkan massa
yang kita lihat yaitu bintang, gas, dan debu, maka kecepatan rotasi
seharusnya menurun seiring dengan semakin jauhnya objek dari pusat
galaksi. Namun kenyataannya kecepatan orbit objek-objek yang jauh dari
pusat galaksi sama besarnya dengan kecepatan orbit objek-objek yang
lebih dekat. Rubin memperkirakan bahwa massa tambahan yang tak terlihat
ini mencapai 10 kali lipat dari massa yang terlihat dan terkonsentrasi
di daerah tepi galaksi, di daerah yang disebut halo galaksi.
Keberadaan materi gelap kini tak bisa disangkal lagi karena
pengamatan Vera Rubin lalu dikonfirmasi oleh astronom-astronom lain yang
melakukan penelitian serupa pada galaksi-galaksi lain. Perhitungan
modern kini menunjukkan bahwa alam semesta yang kita amati hanyalah
sekitar 5% saja dari komposisi total alam semesta, sementara sekitar 25%
adalah materi gelap dan 75% adalah “energi gelap” yang bertanggung jawab atas dipercepatnya ekspansi alam semesta.
Berikut ini saya akan membahas tiga calon penjelasan untuk “materi gelap,” tanpa ada urutan tertentu.
Teori pertama: Materi gelap adalah MACHO
“Massa yang hilang” ini dijelaskan secara sederhana sebagai objek-objek yang punya massa besar, sangatlah padat (compact),
namun tak bercahaya atau sangat redup sehingga berada di luar batas
kepekaan instrumen yang ada. Objek-objek seperti ini antara lain bintang
katai putih, bintang katai merah, bintang neutron, bintang katai coklat,
planet-planet raksasa seukuran Jupiter, dan lubang hitam ukuran kecil.
Bila benda-benda ini jumlahnya sangat banyak, melebihi materi-materi
lain yang bercahaya yang bisa kita amati, maka gabungan total massa
keseluruhan objek-objek ini dapat secara gravitasional mempengaruhi
dinamika di dalam sebuah galaksi dan menjelaskan dari mana asal
“tambahan massa” dalam kurva rotasi. Berdasarkan petunjuk dari kurva
rotasi, objek-objek ini pastilah terserak di penjuru galaksi namun akan
terkonsentrasi di daerah halo. Itulah sebabnya mengapa objek-objek ini
secara kolektif dinamakan sebagai MACHO atau MAssive Compact Halo Objects (Objek halo masif dan padat).
Karena MACHO adalah objek yang padat, maka medan gravitasinya sangat
kuat sehingga dapat membelokkan jalannya cahaya. Medan gravitasi ini
dapat berfungsi sebagai lensa untuk memfokuskan cahaya yang melewati
MACHO. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar di samping. Apabila sebuah
MACHO (dalam contoh ini adalah sebuah katai coklat) lewat di antara
kita dan sebuah bintang, maka cahaya yang berasal dari bintang tersebut
selama beberapa saat akan terfokus ke arah kita sebagai pengamat dan
akibatnya bintang akan menjadi nampak lebih terang selama beberapa saat,
lalu meredup dan kecerlangannya kembali ke semula.
Apabila kita
mengamati porsi langit yang cukup besar dalam waktu yang lama, bukan
tidak mungkin kita akan dapat mengamati peristiwa ini. Tekniknya dengan
demikian adalah menggunakan teleskop yang medan pandangnya luas dan
detektor yang sangat sensitif dan dengan demikian dapat mengambil gambar
dalam waktu eksposur yang sangat singkat dan terus menerus sepanjang
malam, dan juga dilakukan secara otomatis dan terprogram. Salah satu
program semacam ini adalah Proyek OGLE
yang diprakarsai oleh Universitas Warsaw, Polandia. Hampir dua puluh
tahun OGLE beroperasi, mereka tidak hanya berhasil menemukan sejumlah
peristiwa microlensing yang diakibatkan oleh lewatnya MACHO, namun juga sejumlah planet ekstrasolar sebagai hasil sampingan.
Penemuan objek-objek MACHO melalui microlensing menunjukkan
bahwa mereka memang ada, namun bukanlah satu-satunya materi gelap dan
terlebih lagi bukanlah komponen paling dominan. Hal ini karena
partikel-partikel dasar penyusun MACHO adalah partikel-partikel baryon
dan jumlah total mereka di alam semesta tidak cukup besar untuk dapat
dianggap materi gelap. Baryon adalah partikel apapun yang tersusun atas tiga quark,
atau dengan kata lain adalah partikel biasa yang kita ketahui selama
ini: proton dan neutron.
Kelimpahan total partikel baryon di alam
semesta ini dapat diperkirakan dari perhitungan pembentukan atom-atom
dasar pada waktu-waktu awal sesudah Big Bang terjadi (disebut juga nukleosintesis Big Bang),
dan jumlah massa total partikel baryon tidak cukup untuk menjelaskan
massa total materi gelap. Jumlah total partikel baryon paling-paling
hanya 10 persen saja dari total materi gelap dan oleh karena itu sisanya
kemungkinan bisa dijelaskan oleh adanya partikel nonbaryon yang eksotik
dan belum diketahui keberadaannya.
Teori kedua: Materi gelap adalah WIMP
Alternatif kedua untuk menjelaskan materi gelap adalah keberadaan
partikel-partikel nonbaryon. Partikel nonbaryon adalah partikel selain
dari proton dan neutron: bisa neutrino, elektron bebas, atau
partikel-partikel eksotik lain seperti partikel-partikel supersimetri
atau aksion. Partikel ini haruslah berinteraksi melalui gaya nuklir lemah
dan gravitasi, tidak melalui gaya elektromagnetik karena bila demikian
pastilah kita bisa mendeteksi mereka. Selain berinteraksi lemah,
partikel ini juga harus masif relatif terhadap partikel-partikel
lainnya. Itulah sebabnya, agar kontras dengan MACHO, partikel ini kita
namakan WIMP atau Weakly Interacting Massive Particles (Partikel masif yang berinteraksi lemah).
WIMP adalah neutrino?
Berhubung partikel WIMP hanya berinteraksi oleh gaya nuklir lemah dan
gravitasi, maka mendeteksi partikel ini—apabila ada—juga sangat sulit.
Salah satu kandidat partikel WIMP berdasarkan persyaratan ini tidak lain
adalah neutrino. Partikel ini tidak bermuatan listrik (netral) dan oleh
karena tidak berinteraksi lewat gaya elektromagnetik dan hanya
berinteraksi lewat gaya nuklir lemah. Neutrino memiliki massa, walaupun
sangat kecil, dan oleh karena itu dapat berinteraksi secara gravitasi
dengan objek-objek lain. Apabila neutrino tersedia dalam jumlah
berlimpah di alam ini, mungkinkah agregat massa totalnya dapat mengisi
“massa tambahan” yang diperlukan? Untuk menjawab ini, kita harus dapat
memperkirakan berapa massa total seluruh neutrino di alam ini.
Perhitungan ini dapat didekati dengan mencoba mendeteksi neutrino dari
sumber-sumber neutrino di sekitar kita, antara lain dari Matahari dan
dari supernova terdekat.
Salah satu percobaan pertama untuk mendeteksi neutrino dilakukan oleh
astrofisikawan Ray Davis, Jr. dan John Bahcall di dasar Tambang Emas
Homestake di Dakota Selatan, Amerika Serikat. Di dasar tambang yang
tergelap dan jauh dari gangguan radiasi lain yang dapat mengganggu
percobaan, sebuah tangki 100 000 gallon diisi penuh cairan pencuci baju.
Sekali waktu neutrino yang datang dari Matahari dan melewati tangki ini
akan mengubah Klorin dalam cairan ini menjadi Argon. Secara berkala
cairan ini diayak untuk memisahkan Klorin dari Argon, dan dari jumlah
Argon yang ditemukan kita dapat memperkirakan berapa jumlah neutrino
yang melewati tangki tersebut. Untuk pertama kalinya percobaan ini
berhasil membuktikan keberadaan neutrino.
Namun demikian, neutrino kemungkinan besar bukan partikel materi
gelap. Berdasarkan simulasi komputer penciptaan struktur skala besar dan
galaksi-galaksi di alam semesta dini, peran neutrino sebagai materi
gelap gagal menciptakan struktur skala besar dan galaksi-galaksi yang
konsisten dengan apa yang kita amati dewasa ini. Pembentukan struktur
dan galaksi berlangsung terlalu lama atau bahkan kebalikannya yaitu
terlalu banyak galaksi. Oleh karena itu neutrino sebagai materi gelap
kini semakin ditinggalkan dan para astronom beralih ke partikel
nonbaryon lainnya yaitu partikel supersimetri.
WIMP adalah partikel supersimetrik?
Dalam teori fisika, supersimetri (atau biasa disingkat SUSY)
mengandaikan adanya pasangan untuk setiap partikel elementer. Pasangan
ini disebut superpartner dan memiliki karakteristik yang sama (massa dan
bilangan kuantum), hanya saja bilangan spin mereka berbeda sebesar 1/2.
Kurang lebih delapan puluh tahun lalu, Paul Dirac melipatgandakan jumlah materi yang diketahui saat itu dengan memprediksikan keberadaan antimateri,
sekarang jumlah materi ini harus dilipatgandakan lagi oleh teori
supersimetri—bila teori ini nantinya terbukti benar. Partikel
supersimetri yang menjadi kandidat terkuat adalah Neutralino. Partikel
ini tercipta pada saat alam semesta masih berusia dini dan saat ini—bila
mereka memang betul-betul ada—dapat dideteksi melalui dua cara: melalui
detektor kriogenika di bawah tanah atau melalui teleskop neutrino.
Salah satu eksperimen yang bertujuan mendeteksi neutralino melalui kriogenika adalah CDMS atau Cryogenic Dark Matter Search.
Berlokasi jauh di bawah tanah di Minnesota, Amerika Serikat, instrumen
CDMS menggunakan substrat kristal Germanium dan Silikon yang didinginkan
hingga suhunya hanya 1/50000 derajat Kelvin. Pada suhu sedingin ini,
atom-atom Germanium dan Silikon dalam substrat kristal ini tidak lagi
bergerak dan bersusun membentuk kisi-kisi. Bila partikel neutralino
melewati kisi-kisi ini, kisi-kisi ini akan meregang seperti senar gitar
dipetik dan akan bergetar sebelum akhirnya kembali diam ke posisi
semula. Redaman ini akan melepaskan energi panas berwujud fonon,
dan akan dapat dideteksi oleh lapisan tungsten di permukaan detektor.
Untuk menjaga suhu detektor tetap stabil dan mengurangi kemungkinan
detektor ini mendeteksi sesuatu partikel lain selain neutralino,
detektor ini dilapisi berbagai lapisan insulasi yang dapat mencegah
panas dari berbagai sumber memasuki detektor dan juga mencegah partikel
selain neutralino menembus detektor.
Percobaan CDMS berusaha mendeteksi partikel WIMP secara langsung.
Cara lain untuk mendeteksi partikel WIMP secara tidak langsung adalah
dengan mengamati reaksi penghilangan WIMP menjadi partikel lain yang
dapat dideteksi. Cara ini dilakukan antara lain dengan mengamati
neutrino energi tinggi dari Matahari. Objek-objek bermassa besar seperti
Matahari dapat menangkap neutralino dan menggiringnya ke arah inti
Matahari. Di dalam inti Matahari, neutralino dapat saling bertumbukan
dan menghilangkan sesamanya, dan menghasilkan neutrino.
Pada inti
Matahari, reaksi nuklir penggabungan empat inti hidrogen menjadi satu inti helium juga menghasilkan neutrino,
namun energi neutrino ini kira-kira seribu kali lebih lemah daripada
neutrino yang dihasilkan dari tumbukan neutralino. Neutrino energi
tinggi hasil tumbukan neutralino ini kemudian akan melesat ke segala
arah, namun sebagian akan mencapai Bumi dan akan dapat dideteksi oleh
berbagai teleskop neutrino energi tinggi, misalnya Teleskop Neutrino ANTARES yang beroperasi di dasar Laut Tengah atau IceCube yang beroperasi di lapisan es di Kutub Selatan.
Teori ketiga: Materi gelap tidak ada
Penjelasan ketiga adalah materi gelap tidak ada dan gejala “massa
tambahan” dalam kurva rotasi dijelaskan secara sederhana sebagai
kurangnya pemahaman kita akan Hukum Kedua Newton, dan oleh karena itu di hadapan gejala ini perlulah dimodifikasi. Konsep ini diajukan oleh Moti Milgrom dan ia menamakannya MOND atau MOdified Newtonian Dynamics
(Dinamika Newton yang Dimodifikasi). Milgrom menjelaskan bahwa Hukum
Ketiga Newton yang selama ini kita gunakan berlaku hanya untuk
percepatan besar namun perlu diberi parameter tambahan bila kita
meninjau percepatan yang sangat kecil. Jadi untuk kasus percepatan
kecil, Hukum Ketiga Newton bukan lagi F = ma, tetapi F = m a2/a0, di mana a0 adalah sebuah konstanta percepatan yang besarnya kira-kira sekitar 10-8 cm s-2.
Dengan menggunakan MOND, kurva rotasi dapat dijelaskan dengan baik
sekali dan dihitung hanya dengan menggunakan massa baryonik. MOND juga
memprediksikan adanya galaksi dengan kecerlangan rendah, dan juga gejala-gejala lain
yang belum dapat diprediksi teori-teori materi gelap. Dengan
mempelajari secara sistematik kurva rotasi galaksi-galaksi, nilai skala
akselerasi dapat dipertajam harganya menjadi a0 ~ 1.2 x 10-8 cm s-2 dan ternyata nilainya serbasama untuk seluruh galaksi.
Namun demikian, MOND bukannya tanpa masalah. Usaha untuk menjelaskan
kecepatan gerak gugus-gugus galaksi ternyata tidak berhasil dan kita
harus menggunakan nilai berbeda a0, atau bahkan harus
mengasumsikan keberadaan sejumlah kecil materi gelap. Dan yang terutama,
MOND hanyalah teori fenomenologi yang bersifat empirik dan belum punya
dasar fisika. Salah satu ujian terpenting bagi MOND adalah ia harus
diperluas agar dapat bekerja juga dalam kerangka Relativitas Umum yang
memandang gravitasi sebagai sebuah gejala geometri ruang-waktu.
Pengembangan MOND ke dalam kerangka Relativitas Umum diajukan oleh fisikawan Jacob Bekenstein dalam sebuah makalah yang diterbitkan tahun 2004. Teori yang diajukan Bekenstein ini dinamakan TeVeS
atau Tensor-Vektor-Skalar. Teori TeVeS dianggap cukup lengkap dan
terdefinisi dengan baik dan dapat digunakan memprediksikan gejala-gejala
yang terjadi dalam skala kosmologi, yang terpenting adalah pembentukan
struktur skala besar pada masa awal-awal alam semesta.
Penggunaan TeVeS untuk mensimulasi pembentukan struktur skala besar
menunjukkan hasil yang kurang lebih sepadan dengan apa yang diamati
sekarang. Akan tetapi, agar TeVeS bisa konsisten dengan data pengamatan,
dibutuhkan keberadaan medan gravitasi tambahan yang perilakunya
ternyata menyerupai materi gelap dalam wujud neutrino. Secara prinsip
hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip MOND namun tidaklah
seelegan ide awal MOND yang dimaksudkan sebagai konsep yang sama sekali
tidak membutuhkan materi gelap.Hingga saat ini, data pengamatan mengindikasikan bahwa jika materi
gelap memang ada, maka wujudnya adalah partikel nonbaryonik yang eksotik
dan berinteraksi dengan “materi normal” melalui gravitasi dan tidak
secara elektromagnetik. MACHO dan neutrino boleh jadi adalah materi
gelap juga walaupun bukanlah komponen yang paling dominan.
Partikel-partikel supersimetrik dengan demikian adalah kandidat terkuat
sebagai “materi gelap” dan masih menunggu untuk ditemukan melalui
eksperimen-eksperimen fisika dan astronomi. Di satu sisi, bila materi
gelap tidak ada dan yang kita butuhkan adalah modifikasi Hukum Newton,
maka MOND dapat diuji dengan melakukan serangkaian pengamatan lensa
gravitasi dan radiasi latar (CMB atau Cosmic Microwave Background) untuk meneliti efek TeVeS pada pelensaan gravitasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar