Pemanasan global merupakan isu yang hangat dibicarakan beberapa
dekade terakhir.Salah satu hal yang terkait dengan isu tersebut adalah
efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi sebagai karena gas rumah kaca
terjebak di atmosfer sehingga membentuk suatu lapisan yang mencegah
refleksi panas keluar bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
temperatur di permukaan bumi. Carbon dioksida (CO2), salah satu gas
rumah kaca yang paling dominan menyebabkan terjadinya pemanasan global
dengan pertumbuhan emisi mencapai lebih dari 28 Gton/tahun.
Bagi
kebanyakan orang, CO2 menjadi momok akibat efek rumah kaca yang
ditimbulkannya. Namun, dibalik dampak negatif yang ditimbulkan, CO2
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan teknologi. Dari karakteristik
yang dimiliki CO2, yaitu memiliki titik kritis yang relatif rendah (Tc =
31.1oC, Pc = 73.8 bar). Rendahnya titik kritis CO2 memberikan banyak
keuntungan dalam proses pemanfaatanya.
Pada kondisi diatas titik
kritis, CO2 berada pada kondisi superkritis sehingga lebih dikenal
dengan superkritis karbon diokida (superkritis CO2).
Kondisi operasional
yang sering kali dipakai dalam dunia industri adalaha pada range
temperatur dibawah 200oC dan range tekanan dibawah 400 bar. Dilihat dari
titik kritis yang dimiliki, CO2 dapat mencapai kondisi superkritis pada
temperatur dan tekanan yang relatif rendah sehingga secara operasional
hanya memerlukan biaya yang relatif sedikit.
Superkritis CO2
memiliki karakteristik yang sangat unik: memiliki kerapatan seperti
cairan sekaligus memiliki kemampuan difusi seperti gas dan juga memiliki
nilai tegangan permukaaan nol. Dari keunikan inilah superkritis CO2
dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pelarut dalam berbagai proses.
Dengan kerapatan seperti cairan, superkritis CO2 dapat digunakan sebagai
pengganti pelarut organik.
Kemampuan difusi/penetrasi seperti
gas, superkritis CO2 dapat dikeluarkan/diuapkan dari material tanpa
menyisakan residu. Dengan rendahnya tegangan permukaan, superkritis CO2
dapat melakukan kontak dengan sempurna tehadap material-material lain.
Selain itu, keuntungan secara ekonomis dari pemanfaatan CO2 adalah
harganya yang relatif murah (kurang dari $0.5/kg).
DeSimone
merupakan peneliti yang banyak mengembangkan penelitian berkaian dengan
pemanfaatan superkritis CO2. Pada tahun 1992, DeSimone berhasil
mensintesa kelompok fluoropolymer (contoh: teflon) menggunakan
superkritis CO2. Dia juga berhasil mensintesa kopolimer (polimer yang
terdiri dari 2 jenis monomer) golongan fluoropolymer dengan metode yang
sama. Penggunaaan superkritis dalam proses sintesa tersebut menggeser
penggunaan pelarut CFC (Chloro Fluoro Carbon) yang berdampak negatif
pada penipisan ozon.
Selain itu, bersama MiCell Technologies, Dia
mengembangkan sistem dry cleaning yang aman dengan menggunakan
superkritis CO2. Pada sistem dry cleaning yang dikembangkan tersebut,
proses pembersihan dilakukan dengn prinsip ekstraksi/pemisahan dengan
superkritis CO2 sebagi pelarut.
Superkritis CO2 menggantikan
tetrachloroethylene yang digunakan sebagai pelarut dalam proses dry
cleaning sejak tahun 1940an. Tetrachloroethylene memiliki daya pembersih
yang sangat bagus, stabil, dan tidak mudah terbakar. Namun, senyawa
tersebut merupakan kelompok senyawa karsinogenik. Penggunaan superkritis
CO2 ini memberikan arti positif bagi penurunan penggunaan senyawa
karsinogenik.
Pada industri makanan, superkritis CO2 juga dapat
digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang tidak diperlukan oleh
tubuh manusia. Superkritis CO2 dapat memisahkan cafein dari kopi tanpa
mengurangi kekhasan dari aroma kopi sendiri. Indonesia merupakan negara
yang kaya sumber daya alam yang mengandung senyawa-senyawa aktif yang
bermanfaat untuk kehidupan manusia. Superkritis CO2 dapat digunakan
sebagai pelarut alternatif ”green solvent” nuntuk mengekstrak/mengambil
senyawa – senyawa aktif yang dapat digunakan untuk kehidupan manusia.
Pada
bidang-bidang biomedis, proses – proses pembuatan, modifikasi dari
polymer – polymer sudah mulai bergeser dari penggunaan pelarut organik
ke penggunaan superkritis CO2. Pemanfaatan pada bidang ini didasarkan
pada sifat superkritis CO2 yang memiliki karakteristik gas. Dalam
biomedis, diperlukan material berpori yang dapat menjadi media tumbuh
dari sel dalam tubuh manusia. Dengan kemampuan difusi/penetrasi seperti
gas, superkritis CO2 dapat dengan mudah masuk ke dalam bahan polimer
sehingga terbentuk pori-pori. Dengan karakteristik seperti gas tersebut,
superkritis CO2 dapat dengan mudah keluar dari material biomedis
sehingga produk – produk biomedis tidak mengandung sisa pelarut seperti
yang seringkali terjadi pada penggunaan pelarut organik.
Pada
bidang biopolymer, mulai dikembangkan penelitian proses-proses pembuatan
atau modifikasi menggunakan superkritis karbon dioksida. Perkembangan
terkini, Biomaterial Research Center Korea Institute of Science and
technology telah mengoptimalisasi pemanfaatan superkritis CO2 dipadu
dengan sedikit pelarut organik untuk proses modifikasi biopolimer
polilaktida. Sistem yang dikembangkan dikenal sebagai superkritis
CO2-pelarut (Supercritical CO2-solvent system). Produk modifikasi
biopolimer tersebut dikenal sebagai stereokomplek polilaktida yang
memiliki titik leleh lebih tinggi 50oC dibanding polilaktida biasa.
Stereokomplek polilaktida terbentuk karena adanya interaksi antara poli
D-laktida dengan poli L-laktida.
Dalam system tersebut, kelemahan
superkritis CO2 untuk melarutkan biopolymer polilaktida ditanggulangi
dengan penambahan sedikit pelarut organic. System tersebut dapat
berhasil menggeser metode – metode yang umum dipakai dalam proses
pembuatan stereokomplek polilaktida, seperti metode solution casting
(dengan pelarut organic) dan melt blending (proses pelelehan polimer).
Metode – metode umum yang digunakan sangat sulit untuk menghasilkan
stereokomplek polilaktida 100% terutama pada polilaktida dengan bobot
molekul di atas 100 000 g/mol. Metode superkritis CO2-pelarut berhasil
dengan sempurna menghasilkan stereokomplek 100%.
Memang benar jika
semua yang ada di muka bumi selalu memiliki manfaat jika kita mau
memperlajarinya. Sama halnya dengan gas rumah kaca (CO2), dibalik
ancaman efek negatif yang dapat ditimbulkan, ternyata banyak hal yang
bisa dimanfaatkan dari gas rumah kaca tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar